Kamis, 08 Desember 2011

jiwa



SIMPOSIUM SEHARI KESEHATAN JIWA DALAM RANGKA MENYAMBUT HARI KESEHATAN JIWA SEDUNIA
  Penyelenggara :
IKATAN DOKTER INDONESIA CABANG JAKARTA BARAT
Bekerjasama dengan :
FK UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
FK UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
FK UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
27 OKTOBER 2007
HOTEL RED TOP, JAKARTA



GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF
dr. Dharmady Agus, SpKJ


1. Pendahuluan
Dalam PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III), Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif dikelompokkan dalam F1. Kelompok ini berisi gangguan yang bervariasi luas dan berbeda keparahannya (dan intoksikasi tanpa atau dengan komplikasi, penggunaan yang merugikan, sindrom ketergantungan, keadaan putus zat, sampai gangguan psikotik yang jelas dan demensia), dan semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tanpa resep dokter).
Zat psikoaktif yang digunakan dinyatakan oleh karakter ketiga (yaitu dua digit pertama setelah huruf F), sedangkan karakter keempat dan kelima khusus untuk keadaan klinis. Untuk praktisnya, semua zat psikoaktif disebutkan lebih dahulu, baru diikuti oleh karakter keempat dan kelima, namun dengan catatan tidak semua kode pada karakter keempat dan kelima dapat digunakan untuk semua jenis zat.
Adapun ikhtisar dari F1 ini adalah sebagai berikut:

F10,-
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol
F11,-
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan oploida
F12,-
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida
F13,-
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau hipnotika
F14,-
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
F15,-
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain termasuk kafein
F16,-
Gangguan mental dan perilaku akibatpenggunaan halusinogenika
F17,-
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
F18,-
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah menguap
F19,-
Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan penggunaan zat psikoaktif lainnya
Karakter keempat dan kelima dapat digunakan untuk menentukan kondisi klinis sebagai berikut:
F1x.0
intoksikasi akut

00
Tanpa komplikasi

01
Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya

02
Dengan komplikasi medis lainnya

03
Dengan delirium

04
Dengan distorsi persepsi

05
Dengan koma

06
Dengan konvulsi

07
Intoksikasi patologis
F1x.1
Penggunaan yang merugikan (harmful)
F1x.2
Sindrom Ketergantungan

20
Kini abstinen

21
Kini abstinen tetapi dalam lingkungan terlindung

22
Kini dalam pengawasan kiinis atau dengan pengobatan pengganti (ketergantungan terkendali)

23
Kini abstinen tetapi mendapat terapi aversi atau obat penyekat (“blocking drugs”)

24
Kini sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif)

25
Penggunaan berkelanjutan

26
Penggunaan episodik (dipsomania)
F1x.3
Keadaan putus zat

30
Tanpa komplikasi

31
Dengan konvulsi
F1x.4
Keadaan putus zat dengan delirium

40
Tanpa konvulsi

41
Dengan konvulsi
F1x.5
Gangguan psikotik

50
Lir-skizofrenia

51
Predominan waham

52
Predominan halusinasi

53
Predominan polimorfik

54
Predominan gejala depresif

55
Predominan gejala manik

56
Campuran
F1x.6
Sindrom amnesik
F1x.7
Gangguan psikotik residual dan onset lambat 

70
Kilas balik (flashback)

71
Gangguan kepribadian atau perilaku

72
Gangguan afektif residual

73
Demensia

74
Hendaya kognitif menetap lainnya

75
Gangguan psikotik onset lambat
F1x.8
Gangguan mental dan perilaku lainnya
F1x.9
Gangguan mental dan perilaku YTT
Pada kesempatan kali ini, pembahasan hanya akan dititik beratkan pada F11 dan F15 karena kedua zat psikoaktif ini yang paling banyak disalahgunakan. Pembahasan pun hanya terbatas pada klasifikasi dan cara kerja opioida dan amfetamin, gambaran klinis penting perihal intoksikasi, overdosis, dan putus zat, dan penatalaksanaannya secara umum.
 


2.  Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Opioida

2.1.   Sekilas tentang Opioida
Opioida adalah nama segolongan zat, baik alamiah, semisintetik, maupun sintetik yang mempunyai khasiat seperti morfin. Opioida dibagi dalam tiga golongan menurut asalnya:
  1. Opioida alamiah, seperti opium, morfin, dan kodein.
  2. Opioida semisintetik, yaitu opioida yang diperoleh dari opium yang diolah melalui proses / perubahan kimiawi. Sebagai contoh, heroin (diasetil-morfin) dan hidromonfon (dilaudid)
  3. Opioida sintetik, yang dibuat di pabrik,misalnya meperidin (petidin), metadon, propoksifen, levorfanol, dan levalorfan.
Selain mempunyai khasiat analgesik (menghilangkan rasa sakit), opioida juga mempunyal khasiat hipnotik (menidurkan) dan eufona (menimbuikan rasa gembira dan sejahtera). Penggunaan opioida berulang kali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Biia sudah terjadi ketergantungan terhadap oploida, lalu jumlah penggunaan dikurangi atau dihentikan, maka akan timbul gejala putus zat (withdrawal). Pada umumnya, opioida dikonsumsi melalui suntikan intravena, inhalasi, dicampur dalam rokok tembakau, atau secara oral.
  
2.2  Gambaran Klinis
Gambaran klinis pemakaian oploida antara lain:
  1. Euforia awal diikuti oleh suatu periode sedasi, dikenal dengan istilah jalanan sebagai “nodding off’
  2. Euforik yang tinggi (“rush”)
  3. Rasa berat pada anggota gerak
  4. Mulut kering
  5. Wajah gatal (khususnya hidung)
  6. Kemerahan pada wajah
  7. Untuk orang awam yang pertama kali memakai opioida: dapat menyebabkan disforia, mual, dan muntah
  8. Efek flsik: depresi pernafasan, konstriksi pupil, kontraksi otot polos (termasuk ureter dan saluran empedu), konstipasi, perubahan tekanan darah, kecepatan denyut jantung dan temperatur tubuh
2.3. lntoksikasi dan Overdosis Oploida
 lntoksikasi opioida ditandai dengan:
  1. Pamakaian opioida yang belum lama terjadi
  2. Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis
  3. Perubahan mood
  4. Retardasi psikomotor
  5. Mengantuk
  6. Bicara cadel (slurred speech)
  7. Gangguan daya ingat dan perhatian
Gejala overdosis opioida ditandai dengan:
  1. Hilangnya responsivitas yang nyata
  2. Koma
  3. Pin point pupil
  4. Depresi pernafasan
  5. Hipotermia
  6. Hipotensi
  7. Bradikardia
2.4 Putus Oploida
Gejala putus opioida ditandai dengan:
  1. Penghentian (atau penurunan) opioida yang telah lama atau berat
  2. Mood disforik
  3. Mual atau muntah
  4. Nyeri otot
  5. Lakrimasi atau rinorea
  6. Dilatasi pupil, piloreksi, atau berkeringat
  7. Diare
  8. Menguap
  9. Demam
  10. Insomnia
2.5 Penatalaksanaan lntoksikasi, Overdosis, dan Putus Opioida
Penatalaksanaan intoksikasi opioida:
  1. Beri nalokson HCI (Narcan) sebanyak 0,2-0,4 mg atau 0,01 mg/kg berat badan secara intravena, intermuskular, atau subkutan.
  2. Bila belum berhasil, dapat diulang sesudah 3-10 menit sampai 2-3 kali.
  3. Oleh karena narcan mempunyai jangka waktu kerja hanya 2-3 jam, sebaiknya pasien tetap dipantau selama sekurang-kurangnya 24 jam bila pasien menggunakan heroin dan 72 jam bila pasien menggunakan metadon.
  4. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya gejala putus opioida akibat pemberian narcan.
Penatalaksanaan overdosis opmoida:
  1. Pastikan jalan nafas yang terbuka.
  2. Jaga tanda vital.
  3. Usahakan peredaran darah berjalan lancar: bila jantung berhenti berdenyut, lakukan masase jantung ekstemal dan berikan adrenalin intrakardial; bila terjadi fibrilasi, gunakan defifrilator; bila sirkulasi darah tidak memadai, beri infus 50 cc sodium bikarbonat (3,75 gr)guna mengatasi asidosis.
  4. Awasi kemungkinan terjadinya kejang.
  5. Bila tekanan darah tidak kunjung naik menjadi normal, pertimbangkan untuk memberi plasma expander atau vasopresor.
  6. Beri antagonis opiat, nalokson: 0,4 mg intravena. Dosis tersebut dapat diulang empat sampai lima kali dalam 30 sampai 45 menit pertama sampai menunjukkan respons yang adekuat.
  7. Observasi ketat dan awasi kemungkinan relaps ke keadaan semikoma dalam empat sampai lima jam.
Penatalaksanaan putus opioida dapat ditempuh melalui beberapa cara antara lain:
  1. Terapi putus opioida seketika (abrupt withdrawal), yaitu tanpa memberi obat apa pun. Pasien merasakan semua gejala putus opiolda. Terapi ini diberikan dengan harapan pasien akan jera dan tidak akan menggunakan opiolda lagi. Cara ini tidak disukai pasien, tidak efektif, dan hampir tidak pernah dilakukan lagi di fasilitas kesehatan.  
  2. Terapi putus opioida dengan terapi simtomatik: untuk menghilangkan rasa nyeri berikan analgetik yang kuat; untuk gelisah berikan tranquilizer, untuk mual dan muntah berikan antiemetik; untuk kolik berikan spasmolitik; untuk rinore berikan dekongestan; untuk insomnia berikan hipnotik; untuk memperbaiki kondisi badan dapat ditambahkan vitamin. ]
  3. Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal): dengan memberikan opioida yang secara hukum boleh digunakan untuk pengobatan,misalnya morfin, petidin, kodein, atau metadon.
    Kebanyakan metadon digunakan secana oral. Biasanya diberikan dosis awal 10-40 mg, bergantung pada berat ringannya ketergantungan pasien terhadap opioida, diberikan dalam dosis terbagi (start low go slow). Pada hari kedua dan seterusnya, dosis dikurangi 10 mg setiap hari sampai jumlah dosis sehari 10 mg. Sesudah itu, diturunkan menjadi 5 mg sehari selama 1-3 hari

    Buprenorfin juga dapat dipakai untuk detoksiflkasi dengan cara yang sama dengan metadon, dengan dosis awal 4-8 mg.
    Dapat pula dipakai kodein dengan dosis 3-4 kali sehari @ 60-100 mg. Dosis diturunkan 5-10 mg tiap hari menjadi 3-4 kali sehari @ 55mg dan seterusnya.
  4. Terapi putus opioida bertahap dengan substitut non-opioida, misalnya klonidin. Dosis yang diberikan 0,01 - 0,3 mg tiga atau empat kali sehari atau 17 mikrogram per kg berat badan per hari dibagi dalam tiga atau empat kali pemberian.
  5. Terapi dengan memberikan antagonis opioida di bawah anestesi umum (rapid detoxification). Gejala putus zat timbul dalam waktu pendek dan hebat, tetapi pasien tidak merasakan karena pasien dalam keadaan terbius. Keadaan ini hanya berlangsung sekitar enam jam dan perlu dirawat satu sampai dua hari.
2.6 Terapi Pasca-detoksifikasi
Setelah detoksifikasi selesai, terapis harus memberitahukan bahwa proses penyembuhan belum selesai, pasien baru menyelesaikan tahap awal dan proses penyembuhan. Terapis harus senantiasa menyadarkan pasien bahwa perilaku penggunaan zat psikoaktif oleh pasien adalah perilaku yang merugikan kesehatan pasien, merugikan kehidupan sosial, dan merugikan keluarganya.
Sama seperti penyakit kronis lainnya, setelah diobati pasien harus mengubah pola hidupnya. Untuk mengubah perilaku, pasien masih harus mengikuti program pasca-detoksifikasi. Program pasca-detoksifikasi banyak ragamnya, yang pada umumnya menggunakan pendekatan farmakologi, non-farmakologi, konseling, dan psikoterapi. Bila pasien telah memutuskan akan mengikuti terapi pasca­detoksifikasi, terapis bersama pasien dan keluarganya membicarakan terapi pasca-detoksifikasi mana yang sesuai untuk pasien.
Keberhasilan terapi pasca-detoksifikasi sangat dipengaruhi oleh motivasi pasien. Pasien yang dapat menyelesaikan program terapi pasca-detoksiflkasi biasanya hasilnya lebih baik daripada mereka yang tidak menyelesaikan program tersebut. Kemungkinan kambuh lebih kecil, dan bila kambuh, terjadi setelah abstinensi yang lebih lama. Program terapi pasca-detoksiflkasi ada yang non panti dan panti.
 
2.7  After Care
After care adalah perawatan lanjutan bagi seseorang yang telah mengikuti program terapi yang terstruktur. Hal ini perlu dilakukan mengingat eks-pasien rentan terpapar pada lingkungan yang mendorong mereka untuk kembali menggunakannya. Seringkaii pula eks-pasien berharap terlalu cepat dan terlalu yakin diri bahwa ia mampu melepaskan dirinya dan kebiasaan menggunakan zat psikoaktif saat ini. Dalam after care ini, eks-pasien selalu dikuatkan kembali dan didukung terus-menerus agar tetap tidak menggunakan zat psikoaktif lagi.
 

3. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Amfetamin

3.1.   Sekilas tentang Amfetamin
Amfetamin adalah suatu senyawa sintetik yang tergolong perangsang susunan  saraf pusat.
Ada 3 jenis amfetamin, yaitu:
  1. Laevoamfetamin (benzedrin)
  2. Dekstroamfetamin (deksedrin)
  3. Metilamfetamin (metedrin)
Banyak macam derivat amfetamin dibuat dengan sengaja oleh laboratorium dengan tujuan penggunaan rekreasional, misalnya yang banyak disalahgunakan di Indonesia saat ini adalah 3,4 metilen-di-oksi met-amfetamin (MDMA) atau lebih dikenal sebagai ekstasi, dan met-amfetamin (sabu-sabu). Metilfenidat (Ritalin) jarang disalahgunakan. Dalam bidang Psikiatri, metilfenidat digunakan untuk terapi anak dengan GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif).
Pada umumnya, amfetamin dikonsumsi melalui suntikan intravena atau subkutan, inhalasi uap, snorting, supositoria, atau secara oral.
 
3.2  Gambaran Klinis
Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah yang digunakan, dan cara menggunakannya. Dosis kecil semua jenis amfetamin akan meningkatkan tekanan darah, mempercepat denyut nadi, melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euforia, menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar, meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat.
Dosis sedang amfetamin (20-50 mg) akan menstimulasi pernafasan, menimbulkan tromor ringan, gelisah, meningkatkan aktivitas montorik, insomnia, agitasi, mencegah lelah, menekan nafsu makan, menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur.
Penggunaan amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan perilaku stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus tanpa mempunyai tujuan, tiba-tiba agresif, melakukan tindakan kekerasan, waham curiga, dan anoneksia yang berat.
3.3.   lntoksikasi dan Putus Amfetamin
lntoksikasi amfetamin ditandai dengan:
  1. Pamakaian amfetamin yang belum lama terjadi
  2. Takikandia atau bradikardia
  3. Perubahan perilaku maladaptif yang bermakna secara klinis
  4. Dilatasi pupil
  5. Peninggian atau penurunan tekanan darah
  6. Berkeringat atau menggigil
  7. Mual atau muntah
  8. Tanda-tanda penurunan berat badan
  9. Agitasi atau retardasi psikomotor
  10. Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada, atau aritmia jantung
  11. Konvulsi, kejang, diskinesia, distonia, atau koma
Gejaia putus amfetamin ditandai dengan:
  1. Penghentian (atau penurunan) amfetamin yang telah lama atau berat
  2. Depresi
  3. Keleiahan
  4. Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
  5. Insomnia atau hipersomnia
  6. Peningkatan nafsu makan
  7. Retardasi atau agitasi psikomotor
3.4   Penatalaksanaan lntoksikasi dan Putus Amfetamin
Penatalaksanaan intoksikasi amfetamin:
  1. Bila suhu badan naik, berikan kompres dingin, minum air dingin, atau selimut hipotermik.
  2. Bila kejang, berikan diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral; atau klordiazepoksid 10-25 mg per oral secara perlahan-lahan dan dapat diulang setiap 15-20 menit.
  3. Bila tekanan darah naik, berikan obat anti hipertensi.
  4. Bila terjadi takikardma, berikan beta-blocker, seperti propanolol, yang sekaligus juga untuk menurunkan tekanan darah.
  5. Untuk mempercepat ekskresi amfetamin, lakukan asidifikasi air seni dengan memberi amonium klorida 500 mg per oral setiap 3-4 jam.
  6. Bilatimbul gejala psikosis atau agitasi, beri halopendol 3 kali 2-5 mg.
Penatalaksanaan putus amfetamin:
  1. Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya.
  2. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri.
  3. Dapat diberikan anti depresi.
3.5  Terapi pada PsikosisAkibat Penggunaan Amfetamin
Psikosis akibat penggunaan amfetamin sangat mirip dengan skizofrenia paranoid. Pada psikosis akibat penggunaan amfetamin dapat diberikan klorpromazin tiga kali 50-I 50 mg per oral atau 25-50 mg intra muskular yang dapat diulang setiap empat jam. Dapat juga dipakai halopenidol tiga kali 1-5 mg.
 

4. Penutup

Telah disampaikan Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Opioida dan Amfetamin. Kiranya hal ini dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan ketrampilan dokter umum di dalam menangani pasien dengan gangguan yang berhubungan dengan zat psikoaktif, khususnya opioida dan amfetamin.
Dokter umum perlu mencamkan bahwa identifikasi dan zat psikoaktif yang digunakan dapat dilakukan berdasarkan data laporan individu, analisis obyektif dari spesimen urin, darah, dan sebagainya, atau bukti lain (adanya sampel obat yang ditemukan pada pasien, manifestasi tanda dan gejala klinis yang tampak, atau dari laporan pihak ketiga). Selalu disarankan untuk mencari bukti yang menguatkan lebih dan satu sumber, yang berkaitan dengan penggunaan zat.
Analisis obyektif yang mampu memberikan bukti yang paling handal adalah anatisis perihal adanya penggunaan zat akhir-akhir ini atau saat ini, meskipun data ini mempunyai keterbatasan terhadap penggunaan zat di masa lalu atau sejauh apa tingkat penggunaan zat saat itu.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah banyak pengguna zat psikoaktif yang menggunakan lebih dari satu jenis zat. Namun demikian, bila memungkinkan, diagnosis gangguan harus diklasifikasikan sesuai dengan zat tunggal yang paling penting yang digunakannya. Hal ini biasanya dilakukan dengan memperhatikan pemakaian zat psikoaktif tertentu dan dengan memperhatikan tanda dan gejala yang tampak.
Akhirya, cermati juga apakah telah ada komplikasi medis pada pengguna zat tersebut. Komplikasi medis ini harus ditangani secara komprehensif dan terintegrasi.
 

Daftar Pustaka:

  1. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III), Departemen Kesehatan RI., Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993.
  2. Kaplan dan Sadock, Sinopsis Psikiatri: Gangguan Berhubungan dengan Zat, Edisi Kesepuluh, Jilid 1, Penerbit Williams & Wilkins, Baltimore, Philadelphia, 2007.
  3. Satya Joewana, M.D., Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif: Penyalahgunaan NAPZA / Narkoba, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi 2,2004.
  4. Kaplan dan Sadock, Pocket Handbook of Emergency Psychiatric Medicine, Penerbit Williams & Wilkins, Baltimore, Philadelphia.


CURICULUM VITAE


Nama  :
dr. Dharmady Agus, SpKJ
Tempat/tanggal lahir  :
Medan, 22 November 1967
Status  :
menikah
Alamat  :
Taman Semanan lndah Blok E-2 No.35, Jakarta Barat
Telpon  :
(021) 54373510  HP. 0816713026

Riwayat Pendidikan

  • Tamat Dokter Umum di FK-USU tahun 1992
  • Tamat Spesialis llmu Kedokteran Jiwa di FKUI tahun 2001

Riwayat Pekerjaan

  • Ka. Puskesmas Aekraja, Tapanuli Utara tahun 1993 - 1996
  • Staf Tetap Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku FKUAJ tahun 2001 - sekarang
  • Psikiater di RS. Atma Jaya dan Sanatorium Dharmawangsa tahun 2001 - sekarang
  • Ketua Kelompok Studi Lansia FKUAJ tahun 2002 -2005
  • Ka. Bidang Pelayanan Medik RS Atma Jaya tahun 2002 - 2003
  • Direktur Pelayanan Medik dan Keperawatan RS Atma Jaya tahun 2003-2005
  • Ka.SMF Ilmu Kedokteran Jiwa dan Periilaku RS Atma Jaya tahun 2005- sekarang
  • Koordinator Academic Venture FKUAJ tahun 2006 - sekarang
  • Koordinator Tim PBL PSSK FKUAJ tahun 2007 - sekarang
  • Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik Psikiatni FK-UPH di Sanatorium Dharmawangsa tahun 2006 - sekarang



Hidup dan matiku hanya milik Allah
Senin, 22 Juni 2009
F13.Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Sedativa atau Hipnotika dan F14. Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Kokain
• Multi Axial Diagnosis
Aksis I : F13.Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau hipnotika
F14. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
Aksis II : Z03.2 tidak ada diagnosis
Aksis III : tidak ada (none)
Aksis IV : tidak ada (none)
Aksis V : tergantung dengan gejala yang dialami pada kasus

A. Definisi
Penyalahgunaan NAPZA adalah pemakaian NAPZA yang bukan untuk tujuan pengobatan atau yang digunakan tapa mengikuti aturan atau pengawasan dokter, digunakan secara berkali-kali, Kadang-kadang atau terus menerus, seringkali menyebabkan ketagihan atau ketergantungan, baik secara fisik/jasmani, maupun mental emosional sehingga menimbulkan gangguan fisik, mental- emosional dan fungsi sosial.

B. Etiologi
a. Faktor individu
Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa remaja, sebab remaja yang sedang mengalami perubahan biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang rentan.
b. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan, baiik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat.
Faktor keluarga
Terutama faktor orang tua,antara lain :
• lingkungan keluarga,
• komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif,
• hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam keluarga,
• orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh, orang tua otoriter atau serba belarang,
• orang tua yang serba membolehkan (permisif),
• kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan,
• orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA,
• tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang konsisten),
• kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam keluarga.
• Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna NAPZA
Lingkungan Sekolah, yang
• kurang disiplin,terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA,
• kurang memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri.
• Ada muridnya penyalahguna NAPZA.
Lingkungan Teman Sebaya
• berteman dengan penyalahguna.
• Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar.
Lingkungan masyarakat/sosial
• Lemahnya penegakan hukum
• Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung
c. Faktor NAPZA
• Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”,
• Banyaknya iklan minuman berakohol dan rokok yang menarik untuk dicoba,
• Khasiat farmakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan nyeri, menidurkan, membuat euphoria/fly/stone/hogh/teler dan lain-lain.

C. Epidemiologi
Menjelang akhir milenium kedua, diseluruh dunia terdapat 1.100.000.000 orang yang mengalami ketergantungan nikotin, 250.000.000 orang yang mengalami ketergantungan alkohol, dan 15.000.000 orang yang mengalami ketergantungan zat psikoaktif lain.
Penggunaan zat psikoaktif terdapat pada semua golongan umur, pada kedua gender, pada semua golongan etnik, dan pada semua tingkat sosial ekonomi. Namun demikian, terdapat kecenderungan tertentu seperti angka prevalensi yang berbeda-beda pada golongan umur, atau zat psikoaktif tertentu lebih banyak penggunanya pada kelompok tertentu.
D. Manifestasi Klinis
• Kokain
a. Gejala-gejala umum
1) Agitasi psikomotor (perilaku gelisah, tidak dapat diam)
2) Rasa gembira (elation)
3) Rasa harga diri meningkat
4) banyak bicara
5) kewaspadaan menignkat (kecurigaan, prasangka buruk, paranoid)
6) Jantung berdebar-debar
7) Pupil mata melebar
8) Berkeringat berlebihan atau emrasa kedinginan
9) Mual/muntah
10) Perilaku Maladaptif : Perkelahian, gangguan daya nilai realitas, gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan
b. Gejala putus zat
- Alam perasaan epresif (murung, sedih, tidak dapat merasa senang, keinginan untuk bunuh diri)
- Rasa letih, lesu, tidak berdaya, kehilangan semangat
- Gangguan tidur
- Gangguan mimpi bertambah

• Sedativa atau hipnotika
a. Gejala psikologik
1) Emosi labil
2) Hilangnya hambatan impuls seksual dan agresif
3) Mudah tersinggung
4) Banyak bicara (tidak nyambung)
b. Gejala neurologik
1) Bicara cadel
2) Gangguan koordinasi
3) Cara jalan tidak mantap
4) Gangguan perhatian atau daya ingat
c. Efek perilaku maladaptif
1) Secara umum
a) Gangguan daya nilai realitas
b) Halangan dalam fungsi sosial/pekerjaan
c) Gagal bertanggung jawab
2) Secara khusus
a) Mual/muntah
b) Kelelahan unum atau kelebihan
c) Hiperaktivitas autonomik (mis: berdebar-ebar, tekanan darah naik, berkeringat )
d) Kecemasan (rasa takut dan gelisah)
e) Depresif atau iritabel (rasa murung, sedih, mudah tersinggung, dan marah)
f) Hipotensi orostatik (tekanan darah rendah)
g) Tremor kasar pada tangan, lidah dan kelopak mata

E. Faktor Resiko
- Konflik keluarga yang berat
- Kesulitan Akademik
- Adanya komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lain, seperti gangguan tingkah laku dan depresi.
- Penyalahgunaan NAPZA oleh orang –tua dan teman
- Impulsivitas
- Merokok pada usia terlalu muda.

F. Patogenesis dan Patofisiologi
FAKTOR PREDISPOSISI FAKTOR KONTRIBUSI
1. Gangguan Kepribadian 4. Kondisi Keluarga
antisosial
2. Kecemasan ----> <----
3. Depresi
|_______________________________|
|
|
|
FAKTOR PENCETUS
|
V
PENYALAHGUNAAN ZAT

G. Pemeriksaan tambahan
Diagnosis penggunaan NAPZA pada remaja dinuat melalui wawancara yang hati -hati,observasi, temuan laboratorium, dan riwayat yang diberikan oleh sumber yang dapat dipercaya.

H. Diagnosis Banding
Af1, maaf, sorry...tia dk tau ap DD-nya. Tp mnurut pendapat tia, untuk kasus ini di-DD dg gangguan yg disebabkan oleh zat psikotik lainnya, eg:
- gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol
- gangguan mental dan perilaku akibat opioida
- gangguan mental dan perilaku akibat kanabinoida
- etc

I. Penatalaksanaan
Tujuan Terapi dan Rehabilitasi
a. Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA.
b. Pengurungan frekuensi dan keparahan relaps (kekambuhan). Sasaran utamanya adalah pencegahan kekambuhan. Pelatihan relapse prevention programme, program terapi kognitif, opiate antaginist maintenance therapy dengan naltrexon merupakan beberapa alternatif untuk mencegah kekambuhan
c. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial .
Dalam kelompok ini, abstinesia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan (maintenance) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi golongan ini.

• Penanganan gawat darurat :
Pada kondisi overdosis sedativa, stimulansia, opiat atau halusinogen biasanya akan dibawa keruang gawat darurat. Remaja yang dibawa keruang gawat darurat dalam keadaan perilaku kacau, Psikosis akut, koma, kolaps saluran pernafasan atau peredaran darah, biasanya karena overdosis obat-obatan . Keadaan ini dapat menjadi fatal bila salah diagnosis atau mendapat penanganan yang tidak tepat. Oleh karena itu tenaga medis dan paramedis yang bekerja diruang gawat darurat haruslah mempunyai pengetahuan tentang obat-obatan yang sering dipakai oleh penyalahguna NAPZA dan mampu mengatasi intoksikasi yang disebabkan oleh berbagai macam zat tersebut.
Contoh : Naloxone, antagonis opiat, diberikan pada intoksikasi opiat akut, dengan dosis 0,1 mg/kg i.m. atau i.v. setiap 2 – 4 jam selama masih dibutuhkan.

• Terapi dan Referal
Program terapi untuk pasien rawat–inap dan rawat-jalan bagi remaja dengan penyalahgunaan NAPZA cukup banyak macamnya. Programyang komprehentif sangat diperlukan untuk remaja dengan ketergantungan zat. Kebanyakan program ini memberikan konseling atau psikoterapi, disertai dengan teknik farmakoterapi, misalnya dengan menggunakan methadone, namun ada juga yang memakai pendekatan bebas-obat (drug–freeapproach).
Keberhasilan berbagai metode pendekatan juga sangat tergantung pada kondisi remaja itu sendiri, akut – kronis, lamanya pemakaian NAPZA, jenis NAPZA yang dipakai , juga kondisi keluarga.
Untuk pencegahan terjadinya penyalahgunaan NAPZA sebaiknya diberikan penyuluhan kepada masyarakat luas tentang NAPZA dan berbagai persoalan yang ditimbulkannya. Usaha ini juga dapat dipakai sebagai deteksi dini penyalah gunaan NAPZA oleh anggota keluarga dan masyarakat.

J. Komplikasi
- toleransi dan ketergantungan
- gangguan dan perubahan mood
- gangguan daya ingat dan perhatian

K. Prognosis
Dubia et Malam




Tidak ada komentar:

Posting Komentar